Pahala Anak Patuh kepada Orangtua

Posted by Diposting oleh inyoman indra ( hindu site ) On 11.03

Tayornityam priyam kuryad
acaryasya ca sarvada
tesveva trisu tustesu
tapah sarvam samapyate

(Manawa Dharmasastra 11. 228)



Maksudnya: Seorang anak harus melakukan apa yang telah disetujui oleh kedua orangtuanya dan apa yang membahagiakan gurunya. Kalau ketiga orang itu dapat dibahagiakan, ia akan mendapatkan pahala mulia dari tapa bratanya.

DALAM melakukan apa saja, seyogianya seorang anak terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari ayah dan ibunya. Serta senantiasa melakukan sesuatu yang membahagiakan gurunya. Selama masih hidup, ayah dan ibu hendaknya didudukkan sebagai guru oleh anak-anaknya.
Dalam Vana Parwa 27. 214 disebutkan ibu dan ayah (Mata Pita) sebagai guru dalam proses pendidikan informal. Ibu dan ayahlah yang memelihara dan memberi pendidikan pertama. Dari pemeliharaan dan pendidikan awal itulah orang tumbuh menjadi manusia untuk terus menapaki liku-liku kehidupan di dunia ini.

Dalam Taiterya Upanisad ada dinyatakan Matri Dewa Bhawa Pitri Dewa Bawa. Maksudnya, ayah dan ibu itu disebut bagaikan Dewa dalam keluarga. Dewa dalam bahasa Sansekerta artinya sinar. Dewa itu adalah sinar yang memberikan manusia penerangan dalam menjalankan hidup ini. Ketika lahir dan ayah dan ibu itulah orang pada awalnya dapat melihat sinar di bumi. Awalnya, manusia dalam keadaan gelap dalam rahim ibu. Setelah dilahirkan oleh ibu ke dunia, barulah ia dapat melihat sinar matahari di bumi.

Sedangkan acarya adalah guru dalam pendidikan formal dan non-formal. Selanjutnya acarya-lah sebagai guru yang menuntun pikiran dan jiwa yang gelap menuju pikiran dan jiwa yang terang dan cerah. Dari tuntunan ibu, ayah dan acarya itulah seorang anak dapat memiliki widya, kemampuan wiweka. Dengan widya dan wiweka manusia dapat melakukan karma siksana dan dapat mengembangkan satsila. Dengan semuanya itu barulah hidup ini menjadi lebih cerah untuk melakukan dharma bhakti pada ibu pertiwi.

Widya adalah ilmu pengetahuan duniawi dan rohani. Wiweka adalah ilmu pengetahuan yang dapat memberikan manusia kemampuan untuk membeda-bedakan mana yang baik dan buruk, benar dan tidak benar, utama yang tidak utama, penting dan tidak penting, wajar dan tidak wajar, kekal dan tidak kekal, dan seterusnya. Dari kemampuan wiweka itulah manusia dapat memilih dengan tepat apa apa yang sepatutnya dilakukan dan apa pula yang tidak patut dilakukan.

Dengan widya dan wiweka manusia bisa memperbaiki perilakunya menuju perilaku yang makin benar dan baik serta wajar yang disebut karmasiksana. Artinya, kemampuan untuk menertibkan
perilaku menuju pada perilaku yang benar, baik, wajhr dan tepat. Perilaku benar, baik, wajar dan tepat yang makin menguat dan melembaga dalam din itulah yang dapat membentuk watak atau karakter yang mulia. Karakter atau watak yang mulia satsila. Sat artinya satya atau kebenaran dan sila artinya perilaku. Perilaku yang selalu ada pada rel kebenaran (satya) menjadi dasar untuk mengabdi pada tanah kelahiran ibu pertiwi.

Tiga Generasi
Pendidikan dari ibu ayah dan acarya tidak berhasil jika anak yang dibina tidak mau melakukan pengabdian pada tanah kelahirannya. Ibu, ayah dan acarya memiliki kewajiban membina generasi
yang utama. Ada tiga jenis generasi menurut Swami Satya Narayana yaitu adama, madyama dan utama. Generasi adama adalah generasi yang menggunakan warisan generasi sebelumnya untuk mendapatkan kebahagiaan hidup. Namun, warisan tersebut menjadi menurun dan berkurang kuantitas maupun kualitasnya. Generasi madyama adalah generasi yang menggunakan warisan leluhur tetapi warisan itu tidak berkurang maupun tidak bertambah. Generasi yang ideal adalah generasi utama yang menggunakan warisan orangtua atau leluhur, namun warisan itu tidak berkurang dan justeru makin bertambah dan berkembang kuantitas maupun kualitasnya.

Untuk membangun generasi utama tidak hanya menjadi tanggung-jawab ibu, ayah dan acarya saja. Tergantung juga kebijakan negara dalam menata alam lingkungan dan lingkungan sosial politik dan kebudayaan. Yang penting adalah kemauan si anak sebagai generasi penerus. Kalau ia terus berusaha untuk selalu berdialog dengan kedua orangtuanya dalam melangkah dalam berbagai hal, maka ia akan menemukan nilai tambah dalam berbagai kebijakannya. Artinya, dengan berdialog secara intensif dengan orangtua atau generasi sebelumnya, mereka akan dapat mengambil pengalaman berharga dari orangtuanya.

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman yang jelek dari orangtua jangan sampai terulang. Sedangkan pengalaman yang baik, tepat dan benar harus dikembangkan dan setidak-tidaknya dipertahankan. Sebagaimana diajarkan dalam Manawa Dharmasastra. II. 228, seorang anak hendaknya melakukan apa yang telah disetujui oleh kedua orangtuanya. Hal ini akan membawa suatu dialog terus-menerus antara anak dan orangtua. Dialog akan terus berlangsung meskipun kedua orangtuanya telah menjadi dewa pitara yang berstana di Kemulan. taksu — dialog itu dapat dilakukan secara spiritual.

0 komentar

Posting Komentar